Mahalnya belis dimanggarai sesuai dengan Tingkat Pendidikan???
Persoalan belis di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) selalu menjadi pembicaraan. Itu disebabkan makna belis dinilai telah bergeser. Jika sebelumnya belis sebagai penghormatan kepada perempuan, sekarang dinilai sebagai kesempatan mendapatkan keuntungan ekonomi.
hari ini, masyarakat Manggarai dihadapkan dengan masalah belis. Belis selalu menjadi objek pembicaraan. Bukan hanya oleh para pihak yang akan menjalankan suka cita pernikahan, tetapi oleh semua pihak. Betapa tidak, belis yang sejatinya budaya yang harus dihargai, berubah menjadi cikal bakal persoalan.
Menjadi persoalan tatkala belis tak lagi diartikan sebagai sarana untuk memenuhi nilai-niai budaya, tetapi ajang kalkulasi ekonomis. Predikat yang melekat pada diri seorang perempuan menjadi dasar perhitungan. Perempuan itu berijazah, tamat dari perguruan tinggi, perguruan tinggi apa, jurusan apa dan lain sebagainya. Lalu, kecerdasan perempuan dalam menghayati nilai-nilai luhur budaya dinegasikan semata karena tidak menempuh pendidikan formal.
Bayangkan saja, perempuan yang telah menempuh pendidikan formal jumlah belisnya akan lebih besar dibandingkan dengan yang tak berpendidikan formal. Sejak menempuh Sekolah Dasar sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi pengeluaran orang tua dihitung. Misalnya, jumlah yang dikeluarkan orang tua perempuan untuk membiayai pendidikan anaknya 500 juta rupiah, maka besaran jumlah belis pun dihitung berdasarkan jumlah pengeluaran tersebut.
Makna belis yang telah berubah ini pun lebih lanjut berdampak pada kehidupan keluarga pengantin baru. Keluarga pengantin baru pun secara tidak langsung dimiskinkan sejak awal. Itu terjadi karena mereka harus mengganti sejumlah uang yang dipakai untuk belis kepada pihak yang meminjamkan uangnya kepada mereka.
Tidak hanya itu, tingginya nilai belis rentan lahirnya konflik dalam rumah tangga. Terkadang, sang isteri melalaikan kewajibannya dengan alasan suaminya belum lunas membayarkan belis yang harus dibayarkan kepada orang tua isteri. Sebaliknya, jika belis sudah dibayar lunas sang suami, ibarat api dalam sekam, menjadikan belis sebagai senjata untuk menyudutkan isteri. Ungkapan-ungkapan kasar, misalnya; “percuma belis mahal tetapi tidak bisa memasak” tak jarang terjadi. Bukankah semua ini adalah persoalan? Bukankah ini pertanda lunturnya nilai budaya (belis)?
Ia, kita harus mengakui bahwa esensi dasar belis telah hilang. Belis tidak lagi menjadi sarana pengikat tali persaudaraan. Secara tidak langsung pun, belis telah menjadi tindakan ekonomis dengan kalkulasi untung-rugi. Sadar atau tidak sadar, sekarang belis sedang digiring dalam koridor materialis-kapitalis.
Masihkah kita optimis bahwa ada ruang untuk mengembalikan budaya belis ke keasliannya? Sebagai seorang pemuda Manggarai, saya mengakui bahwa belis yang terjadi saat ini sudah keluar dari dirinya. Belis sudah menjadi cikal-bakal persoalan. Saya juga yakin bahwa kaum muda adalah tokoh pembaharu. Maka, saya pun mengajak semua kaum muda untuk menyadari bahwa budaya belis sedang sakit dan harus didiagnosa. Mari kita mengembalikan belis ke keasliannya. Jangan sampai belis terus mendatangkan histeris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar